MAKALAH AKHLAK TASAWUF
PEMBINAAN AKHLAK
DISUSUN
OLEH :
M. ARDIAN YUDHANARTO (11391027)
ANI
NUR ISRO’IYAH FIRDAUS (15830008)
KHOTIMATUL
CHUSNA (15830019)
MUHAMMAD RILO NUGROHO (15830027)
LARAS DWI ASTUTI (15830031)
BAGAS TRI ATMAJA (15830033)
PUTRI IKLILAH (15830042)
UNIVERSITAS ISLAM NEGERI SUNAN KALIJAGA YOGYAKARTA
FAKULTAS EKONOMI DAN BISNIS ISLAM
PROGRAM STUDI KEUANGAN SYARIAH
YOGYAKARTA
2015
BAB
I
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Kemajuan materi yang dirasakan umat manusia ternyata
tidak menjamin kebahagiaan hidup. Bahkan fakta berbicara bahwa kegaulan hidup
dan kekeringan jiwa menjadi fenomena yang menjamur di mana-mana.
Orientasi manusia saat ini lebih mengedepankan alam
materi, menjadikan mereka ibarat robot yang otaknya terperas hanya demi uang.
Sementara kebutuhan rohani berupa pengajaran agama, tarbiyah, dan tazkiyah,
bagi jiwa seakan tidak mendapat porsi dalam segenap waktu yang dimilikinya.
Padahal kedua hal tersebut merupakan inti utama dalam pembinaan akhlak. Semakin
berkurang pembinaan akhlak terhadap diri manusia maka semakin merosot
akhlaknya.
Dewasa ini banyak orang mulai sadar akan pemenuhan
kebutuhan siraman rohani. Mereka mulai gencar mengkaji Islam, membina akhlak
bangsa dengan menyuarakan anti korupsi, kolusi, dan nepotisme, serta anti
pornografi dan porno aksi. Semua ini dilakukan demi mengangkat harkat,
martabat, dan moral bangsa Indonesia sehingga terwujud bangsa yang berakhlakul
karimah.
Namun demikian kesadaran tersebut baru pada dataran
wacana, belum ada konsep yang komprehensif pada pembinaan akhlak yang
kemudian diadopsi oleh pemerintah sebagai suatu gerakan yang masal. Dalam
sejarah umat Islam, akhlak tasawuf telah membuktikan kesuksesannya pada
pembinaan akhlak mulia dalam rentang waktu yang panjang.
Oleh
karena itu, penulis membuat makalah dengan mengambil judul “Pembinaan Akhlak” yang
diharapkan tulisan ini dapat ikut berpartisipasi dalam proses pembelajaran mata
kuliah Akhlak Tasawuf.
1.2 Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas masalah yang
dapat dirumuskan antara lain sebagai berikut :
1.2.1 Apa yang dimaksud dengan pembinaan akhlak ?
1.2.2 Apa saja langkah-langkah pembinaan akhlak ?
1.3 Tujuan
Berdasarkan rumusan masalah diatas, maka tujuan penyusunan makalah ini
antara
lain :
1.3.1 Untuk mengetahui maksud pembinaan akhlak .
1.3.2 Untuk mengetahui apa saja langkah-langkah
pembinaan akhlak .
BAB II
PEMBAHASAN
1.1 Hakikat
Pembinaan Akhlak Tasawuf
Pembinaan akhlak bagi
setiap muslim merupakan sebuah kewajiban yang harus dilakukan terus menerus
tanpa henti baik melalui pembinaan orang lain maupun pembinaan diri sendiri
tanpa harus dituntun oleh orang lain. Pada hakikatnya pembinaan
akhlak tasawuf lebih merupakan pembinaan akhlak yang dilakukan
seseorang atas dirinya sendiri dengan tujuan jiwanya bersih dan perilakunya
terkontrol. Dalam dunia tasawuf istilah pendidikan diri sendiri dapat dikenal
dengan istilah Tazkiyat al-Nafs, Tarbiyah al-Dzatiyah, dan Halaqah Tarbawiyah.[1]
1.2 Langkah-Langkah
Pembinaan Akhlak
Beribadah merupakan pengabdian seorang hamba kepada
Tuhannya (Allah Swt). Dalam mewujudkan pengabdianya manusia berusaha untuk
senantiasa bersih atau suci dari segala dosa-dosa yang melekat pada diri manusia.
Upaya-upaya tersebut sudah banyak dilakukan oleh mereka yang ingin dekat dengan
Allah Swt. Salah satunya adalah pembinaan akhlak yang dalam
pembahasan ini lebih ditekankan pada pembinaan akhlak melalui Tarbiyah
Dzatiyah, Tarbiyah al-Nafs dan Halaqah Tarbawiyah.[2]
Disinilah para ahli perjalanan kepada Allah
mengambil langkah pendekatan diri pada Tuhannya dengan cara muraqabah, muhasabah, musyarathah, mujahadah dan
mu’tabah, dimana cara seperti ini sebagai salah satu sarana tazkiyatun
nafs.
Manusia yang senantiasa mentazkiyah dirinya
akan selalu mengingat bahwa Allah mengawasi mereka, menanyai mereka dalam
proses hisab, dan akan dituntut dengan berbagai tuntutan yang
sedetail-detailnya. Dan tidak ada sesuatu yang dapat menyelamatkan mereka dari
bahaya ini kecuali lazumul muhasabah (muhasabah secara
terus menerus), shidul muraqabah (muraqabah secara
benar), muthalabatun nafsi (menuntut jiwa) dalam semua nafas dan
gerak dan muhasabah terhadap jiwa dalam segala hal dan
keadaan. Barangsiapa meng-hisab dirinya sebelum dihisab, maka akan ringan
hisabnya di hari kiamat, bisa menjawab pertanyaan yang diajukan, dan
mendapatkan tempat kembali yang baik. Tetapi barang siapa yang tidak meng-hisab
dirinya maka akan menyesal selamanya, akan lama penantiannya di pelataran
kiamat, dan berbagai keburukan akan menyeretnya kepada kehinaan dan murka.
Setelah hal itu terungkap, maka manusia akan mengetahui bahwa tidak ada sesuatu
yang dapat menyelamatkan mereka kecuali ketaatan kepada Allah.[3]
Dalam pada itu Allah telah memerintahkan mereka agar
bersabar dan bersiap siaga (murabathah). FirmanNya “Hai orang-orang yang
beriman, bersabarlah kamu dan kuatkanlah kesabaranmu dan tetaplah bersiap
siaga…” Mereka mempersiapsiagakan diri mereka terlebih dahulu dengan musyarathah (menetapkan
beberapa syarat), kemudian dengan muraqabah, muhasabah, mu’aqabah, mujahadah dan mu’atabah.
Inilah yang kemudian sebagai acuan dalam tazkiyah al-nafs, yaitu
upaya manusia membersihkan atau mensucikan dirinya sebagai sarana mendekatkan
diri pada Tuhannya.
Ada beberapa tahapan mempersiapkan diri (murabathah)
dalam bertazkiyahyang memiliki keterkaitan erat satu sama lain dan
membangun sistem pengawasan serta penjagaan yang kokoh. Kesemua tahapan
tersebut penting dijalani agar benar-benar menjadi “safety net” (jaring
pengaman) yang menyelamatkan manusia dari keterperosokan dan keterpurukan di
dunia serta kehancuran di akhirat nanti. Tahapan tersebut terbagi dalam enam
maqam (tingkatan), yaitu:
1. Musyarathah
(Penetapan Syarat)
Penetapan syarat adalah permulaan seseorang melakukan
suatu kegiatan. Sebagai contoh tuntutan orang-orang yang terlihat dalam kongsi
perdagangan, ketika melakukan perhitungan, adalah selamatkan keuntungan.
Sebagaimana pedagang meminta bantuan kepada sekutu dagangnya lalu menyerahkan
harta kepadanya agar memperdagangkan kemudian memperhitungkannya. Demikian pula
akal, ia merupakan pedagang di jalan akherat. Apa yang menjadi tuntutan dan
keuntungan tidak lain adalah tazkiyatun nafs karena dengan hal itulah
keberuntungannya. Allah berfirman: “Sesungguhnya beruntunglah orang yang
mensucikan jiwa itu, dan sesungguhnya merugilah orang yang mengotorinya.”
Karena keberuntungan tidak lain adalah amal shalih.[4]
Dalam perdagangan ini akal dibantu oleh jiwa, bila
dipergunakan dan dikerjakan untuk hal yang dapat mensucikannya, sebagaimana
pedagang dibantu oleh sekutu dan pembantunya yang memperdagangkan hartanya.
Sebagaimana sekutu bisa menjadi musuh dan pesaing yang memanipulasi keuntungan
sehingga perlu terlebih dahulu dibuat syarat (musyrathah), kemudian
diawasi (muraqabah), diaudit (muhasabah) dan memberi sanksi (mu’aqabah)
atau dicela (mu’atabab).
Demikian pula akal memerlukan musyrathah (penetapan
syarat kepada jiwa), lalu memberikan berbagai tugas, menetapkan berbagai
syarat, mengarahkan ke jalan kemenangan, dan mewajibkannya agar menempuh jalan
tersebut. Kemudian tidak pernah lupa mengawasinya, sebab seandainya manusia
mengabaikannya niscaya akan terjadi pengkhianatan dan penyia-nyiaan modal. Kemudian
setelah itu ia harus meng-hisabnya dan menuntut memenuhi syarat yang
ditetapkan, karena bagi manusia keuntungan perdagangan ini adalah syurga
firdaus yang tertinggi dan mencapai sidratul munthaha bersama
para nabi dan syuhada’. Oleh sebab itu memperketat hisab (perhitungan) terhadap
jiwa dalam hal ini jauh lebih penting ketimbang memperketat perhitungan
keuntungan dunia, karena keuntungan dunia sangat hina bila dibandingkan dengan
kenikmatan syurga, disamping kenikmatan dunia pasti lenyap. Tidak ada kebaikan
pada kebaikan yang tidak langgeng.
Maka menjadi keharusan bagi setiap orang yang beriman
kepada Allah dan hari akhir untuk tidak lalai untuk melakukan muhasabah terhadap
jiwanya, memperketat dalam berbagai gerak, diam, lintasan dan
langkah-langkahnya. Apabila hamba memasuki waktu shubuh dan telah usai
melaksanakan shalat shubuh maka hendaknya ia meluangkan hatinya untuk
menetapkan syarat terhadap jiwanya sebagaimana pedagang meluangkan pertemuan
untuk menetapkan syarat-syarat kepada sekutunya ketika ia menyerahkan barang
dagangan kepadanya seraya berkata kepada jiwa; “Aku tidak mempunyai barang
dagangan kecuali umur, jika ia habis maka habislah modal sehingga tidak ada
harapan untuk melakukan perdagangan dan mencari keuntungan. Di hari yang baru
ini Allah telah memberi tempo (waktu) kepadaku, dia memperpanjang usiaku dan
melimpahkan nikmat kepadaku dengan usia itu. Seandainya Allah mematikan aku
niscaya aku akan berandi-manusia sekiranya Allah mengembalikan aku ke dunia
sehari saja agar aku beramal shalih.” Seandainya jiwa manusia telah meninggal
kemudian dikembalikan lagi ke dunia, maka janganlah menyia-nyiakan hari ini,
karena setiap nafas adalah mutiara yang tiada terkira nilainya. Perlu diketahui
bahwa sehari semalam adalah dua puluh empat jam, maka bersungguh-sungguhlah
hari ini untuk mengumpulkan bekal dan hindari kecenderungan pada kemalasan,
kelesuan dan santai yang menyebabkan tidak dapat meraih derajat ‘iltiyin
sebagaimana orang yang telah mendapatkannya.[5]
2. Muraqabah
(Pengawasan)
Muraqabah
atau perasaan diawasi adalah upaya menghadirkan kesadaran adanya muraqabatullah (pengawasan
Allah). Istilah ini diterapkan pada konsentrasi penuh waspada, dengan segenap
jiwa, pikiran dan imajinasi, serta pemeriksaan yang dengannya sang hamba
mengawasi dirinya sendiri dengan cermat. Dengan kata lain muraqabah
adalah upaya diri untuk senantiasa merasa terawasi oleh Allah (muraqabatullah).
Jadi upaya untuk menghadirkan muraqabatullah dalam diri adalah
dengan jalan mewaspadai dan mengawasi diri sendiri.[6]
Bila hal tersebut tertanam secara baik dalam diri
seorang Muslim maka dalam dirinya terdapat ‘waskat’ (pengawasan melekat
atau built in control) yakni sebuah mekanisme yang sudah inheren,
dalam dirinya. Artinya ia akan aktif mengawasi dan mengontrol dirinya sendiri
karena ia sadar senantiasa berada di bawah pengawasan Allah seperti yang
dinyatakan dalam al-Qur’an dan Hadits yang artinya berikut ini:
1.
“…Dan
Dia bersama kamu di mana saja kamu berada. Dan Allah Maha Melihat apa yang kamu
kerjakan”. (QS. Al-Hadid ayat 4), “Dan sesungguhnya Kami telah menciptakan
manusia dan mengetahui apa yang dibisikkan hatinya, dan kami lebih dekat
kepadanya dari urat lehernya” (QS. Qaf ayat 16),
2.
“Dan
pada sisi Allahlah kunci-kunci semua yang ghaib, tak ada yang mengetahuinya
kecuali Dia sendiri dan Dia mengetahui apa yang di daratan dan di lautan, dan
tiada sehelai daunpun yang gugur melainkan Dia mengetahuinya (pula), dan tidak
jatuh sebutir pun dalam kegelapan bumi dan tidak sesuatu yang basah atau yang
kering, melainkan tertulis dalam kitab yang nyata (Lauh Mahfuzh)” (QS. Al-An’am
ayat 59).
3.
(Luqman
berkata): “Hai anakku, sesungguhnya jika ada (sesuatu perbuatan) seberat biji
sawi dan berada dalam batu atau di langit atau di dalam bumi, niscaya Allah
akan mendatangkannya (membalasinya) sesungguhnya Allah Maha Halus lagi Maha
Mengetahui” (QS. Luqman ayat 16).
4.
Kemudian
dalam HR. Ahmad, Nabi Saw bersabda, “Jangan engkau mengatakan engkau sendiri,
sesungguhnya Allah bersamamu. Dan jangan pula mengatakan tak ada yang mengetahui
isi hatimu, sesungguhnya Allah mengetahui”.
Muraqabatullah atau
kesadaran tentang adanya pengawasan Allah akan melahirkan ma’iyatullah (kesertaan
Allah) seperti nampak pada keyakinan Rasulullah SAW (QS. At-Taubah ayat 40)
bahwa “Sesungguhnya Allah bersama kita”, ketika Abu Bakar r.a sangat cemas
musuh akan bisa mengetahui keberadaan Nabi dan menangkapnya. Begitu pula pada
diri Nabi Musa a.s ketika menghadapi jalan buntu karena di belakang tentara
Fir’aun mengepung dan laut merah ada di depan mata. Namun ketika umat
pengikutnya panik dan ketakutan, beliau sangat yakin adanya kesertaan Allah. Ia
berkata, “Sekali-kali tidak (akan tersusul). Rabbku bersamaku. Dia
akan menunjukiku jalan”. Kemudian akhirnya Nabi Ibrahim a.s juga dapat menjadi
contoh agung tentang kesadaran akan kesertaan dan pertolongan Allah, Yakni
ketika beliau diseret dan dibakar di api unggun, beliau tetap tenang. Dan benar
saja terbukti beliau keluar dari api unggun dalam keadaan sehat wal afiat
karena Allah telah memerintahkan makhluknya yang bernama api agar menjadi
dingin.
Apabila manusia telah mewasiati jiwanya dan menetapkan
syarat kepadanya dengan apa yang telah disebutkan di atas maka langkah
selanjutnya adalah mengawasi (muraqabah) ketika melakukan berbagai
amal perbuatan dan memperhatikan dengan mata yang tajam, karena jika dibiarkan
pasti akan melampaui batas dan rusak.
Berikut ini akan disebutkan keutamaan muraqabah dan
derajat-derajatnya. Tentang keutamaan muraqabah, Jibril ‘alaihi
salam pernah bertanya tentang ihsan lalu Rasulullah Saw menjawab:
“Engkau beribadah kepada Allah seolah-olah engkau melihatnya” (Bukhari dan
Muslim). Hadits selanjutnya adalah “Beribadah kepada Allah seolah-olah engkau
melihat-Nya, sekalipun kamu tidak melihata-Nya tetapi Dia melihatmu”
(diriwayatkan Abu Nu’aim di dalam Al- Hilyah, Hadits ini ahsan). Kemudian
ayat-ayat dalam al-Qur’an yang mendukung keutamaan muraqabah adalah: “Maka
apakah Tuhan yang menjaga sedap diri terhadap apa yang diperbuatnya (sama
dengan yang tidak demikian sifatnya)?” (QS. Ar-Ra’d ayat 33), “Tidaklah dia
mengetahui bahwa sesungguhnya Allah melihat segala perbuatannya?” (QS. Al-Alaq
ayat 14), “Sesungguhnya Allah selalu menjaga dan mengawasi kamu” (QS. An-Nisa’
ayat 1), “Dan orang-orang yang memelihara amanat-amanat (yang dipikulnya) dan
janjinya. Dan orang-orang yang memberikan kesaksiannya” (QS. Al-Ma’arij ayat
32-33).
Sebagaimana diceritakan bahwa sebagian dari manusia
bertanya tentang firman Allah: “Allah ridha terhadap mereka dan merekapun ridha
kepadaNya. Yang demikian itu adalah (balasan) bagi orang yang takut kepada
Tuhannya” (QS. Al-Bayinah ayat 8). Ia menjawab maknanya: maknanya yang demikian
itu bagi orang yang merasakan muraqabahTuhannya, meng-hisab dirinya
dan membekali diri untuk akheratnya. Dzun Nun pernah ditanya: dengan apakah
seorang hamba mencapai syurga? Ia menjawab: “Dengan lima hal yaitu, istiqamah
yang tidak mengandung kelicikan, keseriusan yang tidak disertai kelalaian,muraqabatullah
ta’ala dalam sunyi dan keramaian, menantikan kematian dengan
penuh kesiapan terhadapnya, dan memuhasabah jiwamu sebelum kamu dihisab.”
Manusia, dalam segala ihwal keadaannya, tidak terlepas
dari gerak dan diam. Apabila ia merasakan muraqabatullah dalam
semua hal tersebut dengan niat, perbuatan yang baik dan menjaga adab maka ia adalah
orang yang telah melakukan muraqabah. Jika ia sedang duduk
misalnya maka seyogyanya ia duduk menghadap kiblat mengingat sabda Rasullullah
SAW: “Sebaik- baik majlis adalah yang menghadap kiblat” (Di riwayatkan oleh Al-
Hakim), jika ia tidur di atas tangan dan menghadap kiblat dengan tetap menjaga
semua adabnya. Semua itu masuk dalam muraqabah. Bahkan sekalipun tengah
membuang hajat, ia tetap menjaga adab-adabnya demi komitmen kepada muraqabah.
Seorang hamba tidak terlepas dari tiga keadaan: dalam
ketaatan, atau dalam kemaksiatan atau dalam hal yang mubah. Muraqabah-nya
dalam ketaatan ialah dengan ikhlas, menyempurnakan, menjaga adab dan
melindunginya dari berbagai cacat. Dalam kemaksiatan, maka muraqabahnya
ialah dengan taubat, melepaskan, malu dan sibuk melakukan tafakur. Jika dalam
hal yang mubah, maka muraqabah-nya ialah dengan menjaga adab
kemudian menyaksikan pemberi nikmat dalam kenikmatan yang didapat dan
mensyukurinya.
Dalam semua keadaan, seorang hamba tidak tidak
terlepas dari ujian yang harus disikapinya dengan kesabaran, dan nikmat yang
harus disyukurinya. Semua itu adalah muraqabah. Bahkan dalam keadaannya,
seorang hamba tidak terlepas dari fardhu Allah kepadanya yang harus
dilaksanakan, atau larangan yang harus dihindarinya, atau anjuran yang yang
dianjurkannya kepadanya agar ia bersegera mendapatkan ampunan Allah dan berpacu
dengan hamba-hamba Allah, atau hal yang mubah yang memberikan kemaslahatan
jasad dan hatinya di samping menjadi dukungan terhadap ketaatannya. Masing-
masing dari hal tersebut memiliki batasan-batasan yang harus dijaga dengan
senantiasa muraqabah: “Dan barang siapa melanggar batas-batas Allah
maka sesungguhnya dia telah berbuat zhalim terhadap dirinya sendiri” (QS. At-
Thalaq ayat 1). Seorang hamba harus mengontrol diriya dalam semua waktunya
dalam ketiga hal tersebut. Jika telah menyelesaikan berbagai kewajiban dan
mampu melakukan berbagai keutamaan maka hendaknya ia mencari amal yang paling
utama untuk ditekuninya. Jika luput mendapatkan tambahan keuntungan padahal ia
mampu untuk mendapatkannya maka ia adalah orang yang terpedaya. Berbagai
keuntungan diperoleh melalui berbagai keutamaan yang istimewa. Dengan hal
itulah seorang hamba menjadikan bagian dunianya untuk akhirat, sebagaimana
firman Allah: “Dan janganlah kamu melupakan bagianmu dari (kenikmatan) duniawi”
(QS. Al-Qashas ayat 77). Demikian murabathah yang kedua dengan
senantiasa mengawasi amal perbuatan ini.[7]
3. Muhasabah
(Intropeksi)
a. Hakekat Muhasabah
Muhasabah adalah
menganalisa terus menerus atas hati berikut keadaannya yang selalu
berubah. Muhasabah juga berarti usaha seorang Muslim untuk
menghitung, mengkalkulasi diri seberapa banyak dosa yang telah dilakukan dan
mana-mana saja kebaikan yang belum dilakukannya. Selama muhasabah,
orang yang merenung pun memeriksa gerakan hati yang paling tersembunyi dan
paling rahasia. Dia menghisab dirinya sendiri sekarang tanpa menunggu hingga
Hari Kebangkitan.
Jadi muhasabah adalah sebuah upaya
untuk selalu menghadirkan kesadaran bahwa segala sesuatu yang dikerjakannya tengah
dihisab, dicatat oleh Malaikat Raqib dan Atid sehingga ia pun berusaha aktif
menghisab dirinya terlebih dulu agar dapat bergegas memperbaiki diri.
Arti muhasabah terhadap mitra
usaha ialah meninjau modal, keuntungan dan kerugian, untuk mencari kejelasan
apakah bertambah atau berkurang. Jika didapatinya bertambah maka pedagang
tersebut mensyukurinya tetapi jika didapatinya merugi maka ia mencarinya dengan
menjaminnya dan berusaha mendapatkannya di masa mendatang. Demikian pula modal
hamba dalam agamanya adalah berbagai kewajiban, keuntungannya adalah berbagai
amal sunnah dan keutamaan, sedangkan kerugiannya adalah berbagai kemaksiatan.
b. Keutamaan Muhasabah
Berikut ini adalah keutamaan muhasabah.
Tentang keutamaan muhasabah, Allah berfirman: “Hai orang-orang
yang beriman, bertakwalah kepada Allah dan hendaklah setiap diri memperhatikan
apa yang telah diperbuatnya untuk hari esok (akhirat)” (QS. Al-Hasyr ayat 18).
Ini adalah isyarat kepada muhasabah terhadap amal perbuatan yang telah
dikerjakan. Oleh karena itu Umar ra berkata, “hisablah dirimu sebelum kamu
dihisab, dan timbanglah dia sebelum kamu ditimbang.”
Seoarang hamba memulai muhasabahnya.
dengan bertaubat pada Allah SWT. Sebagaimana dalam firman Allah: “Dan
bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, hai orang-orang yang beriman supaya
kamu beruntung” (QS. An-Nur ayat 31). Taubat adalah meninjau perbuatan dengan
menyesalinya setelah dikerjakan. Nabi SAW bersabda dalam sebuah Hadits Shahih:
Sesungguhnya aku memohon ampunan kepada Allah dan bertaubat kepada-Nya seratus
kali dalam sehari.”[8]
Dalam ayat lain Allah berfirman: “Sesungguhnya
orang-orang yang bertakwa bila mereka ditimpa was-was dari syaitan, mereka
ingat kepada Allah, maka ketika itu juga mereka melihat kesalahan-kesalahannya”
(QS. al- A’raf ayat 201). Dari Umar ra bahwa ia memukul kedua kakinya dengan
cemeti apabila malam telah larut seraya berkata pada dirinya; “Apakah yang
telah kamu perbuat hari ini?” Dari Maimun bin Mahran bahwa ia berkata: “Seorang
hamba tidak termasuk golongan muttaqin sehingga dia menghisab dirinya lebih
keras ketimbang muhasabahnya terhadap mitra usahanya. Al-Hasan
berkata: “Orang mukmin selau mengevaluasi dirinya, ia menghisabnya karena
Allah. Hisab akan menjadi ringan bagi orang-orang yang telah menghisab diri
mereka di dunia, dan akan menjadi berat pada hari kiamat bagi orang-orang yang
mengambil perkara ini tanpa muhasabah.”
Tentang firman Allah: “Dan Aku bersumpah dengan jiwa
yang amat menyesali (dirinya sendiri)” (QS. al-Qiyamah ayat 2).
Penyesalan ini akan dapat mendorong seseorang untuk
mengevaluasi atau memperbaiki kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan,
sehingga perbuatan yang akan dijalani dapat terkontrol dengan baik. Inilah
keutamaan muhasabah.
4.
Mu’aqabah (Menghukum Diri atas Segala Kekurangan)
Selain sadar akan pengawasan (muraqabah) dan
sibuk mengkalkulasi diri, maka perlu meneladani para sahabat dan salafus-shaleh dalam
meng’iqab (menghukum atau menjatuhi sanksi atas diri mereka
sendiri). Bila Umar r.a terkenal dengan ucapan: “Hisablah dirimu sebelum kelak
engkau dihisab”, maka mu’aqabah dianalogikan dengan
ucapan tersebut yakni “Iqablah dirimu sebelum kelak engkau diiqab”. Umar
Ibnul Khathab pernah terlalaikan dari menunaikan shalat dzuhur berjamaah di
masjid karena sibuk mengawasi kebunnya. Lalu karena ia merasa ketertambatan
harinya kepada kebun melalaikannya dari bersegera mengingat Allah, maka ia pun
cepat-cepat menghibahkan kebun beserta isinya tersebut untuk keperluan fakir
miskin. Hal serupa itu pula yang dilakukan Abu Thalhah ketika beliau terlupakan
berapa jumlah rakaatnya saat shalat karena melihat burung terbang. Ia pun
segera menghibahkan kebunnya beserta seluruh isinya, subhanallah.
Betapapun manusia telah menghisab dirinya tetapi ia
tidak terbebas sama sekali dari kemaksiatan dan melakukan kekurangan berkaitan
dengan hak Allah sehingga ia tidak pantas mengabaikannya, jika ia
mengabaikannya maka ia akan mudah terjatuh melakukan kemaksiatan, jiwanya
menjadi senang kepada kemaksiatan, dan sulit untuk memisahkannya. Hal ini
merupakan sebab kehancurannya, sehingga harus diberi sanksi. Apabila ia memakan
sesuap subhat dengan nafsu syahwat maka seharusnya perut dihukum dengan rasa lapar.
Apabila ia melihat orang yang bukan muhrimnya maka seharusnya mata dihukum
dengan larangan melihat. Demikian pula setiap anggota tubuhnya dihukum dengan
melarangnya dari syahwatnya.
Kami menyebutkan hadits Abu Thalhah, ketika hatinya
tidak khusu’ karena memperhatikan seekor burung di kebunnya lalu ia menshadaqahkan
kebunnya sebagai kafarat hal tersebut. Demikian pula ‘Umar memukul kedua
kakinya dengan cemeti setiap malam seraya berkata: Apa yang telah kamu perbuat
hari ini?
Demikian pula sanksi orang-orang yang bersikap tegas
terhadap jiwa mereka. Hal yang mengherankan bahwa manusia menghukum budak,
istri dan anak manusia atas akhlak buruk yang mereka lakukan dan keteledoran
mereka terhadap suatu perintah, dan manusia memaafkan mereka niscaya urusan mereka
akan rusak dan mereka tidak mentaatinya, tetapi kemudian manusia membiarkan
nafsu syaitan yang merupakan musuh terbesar bagi manusia menyelimuti jiwanya.
Sekiranya manusia berfikir mendalam niscaya manusia menyadari bahwa kehidupan
yang sebenarnya adalah kehidupan akhirat, karena di dalamnya terdapat
kenikmatan abadi yang tiada ujungnya.[9]
5. Mujahadah
(Bersungguh-Sungguh)
Mujahadah adalah
upaya keras untuk bersungguh-sungguh melaksanakan ibadah kepada Allah, menjauhi
segala yang dilarang Allah dan mengerjakan apa saja yang diperintahkan-Nya.
Kelalaian sahabat Nabi Saw yakni Ka’ab bin Malik sehingga tertinggal rombongan
saat perang Tabuk adalah karena ia sempat kurang bermujahadah untuk
mempersiapkan kuda perang dan sebagainya. Ka’ab bin Malik mengakui dengan jujur
kelalaian dan kurangnya mujahadah pada dirinya.
Ternyata Ka’ab harus membayar sangat mahal berupa
pengasingan/pengisoliran selama kurang lebih 50 hari sebelum akhirnya turun
ayat Allah yang memberikan pengampunan padanya.
Rasulullah Muhammad SAW terkenal dengan mujahadahnya
yang luar biasa dalam ibadah seperti dalam shalat tahajudnya. Kaki beliau
sampai bengkak karena terlalu lama berdiri. Namun ketika bukankah sudah
diampuni, seluruh dosamu yang lalu dan yang akan datang. Beliau
menjawab,“Salahkah aku bila menjadi ‘abdan syakuran (hamba yang senantiasa
bersyukur)?”
Diriwayatkan dari seseorang dari sahabat ‘Ali bin Abi
Thalib ra bahwa ia berkata: “aku pernah shalat shubuh di belakang ‘Ali ra.
Ketika salam, Ia menoleh kesebelah kanannya dengan sedih hati lalu diam hingga
terbit matahari kemudian membalik tangannya seraya berkata: “Demi Allah, aku
melihat para shahabat Muhammad SAW dan sekarang aku tidak melihat sesuatu yang
menyerupai mereka sama sekali. Mereka dahulu berdebu dan pucat pasi, mereka
melewatkan malam hari dengan sujud dan berdiri karena Allah, mereka membaca
kitab Allah dengan bergantian pijakan kaki dan jidat mereka, apabila menyebut
Allah, mereka bergetar seperti pohon bergetar terterpa angin, mata mereka
mengucurkan air mata membasahi pakaian mereka, dan orang-orang sekarang
seakan-akan lalai (bila dibandingkan dengan mereka).”
Demikian peri kehidupan generasi salaf yang shalih
dalam mensiapsiagakan jiwa dan mengawasinya (murabathah dan muraqabah).
Sehingga mereka dapat bermujahadah melaksanakan ibadah dengan sungguh-sungguh.[10]
6. Mu’atabah (Mencela Diri)
Terakhir dari tingkatan murabathah ini
adalah Mu’atabah. Mu’atabahmengandung arti
perlunya memonitoring, mengontrol dan mengevaluasi sejauh mana proses-proses
tersebut seperti mujahadah dan seterusnya berjalan
dengan baik.
Dalam melakukan mu’atabah adalah
mengetahuilah terlebih dahulu bahwa musuh bebuyutan dalam diri manusia adalah
nafsu yang ada di dalam dirinya. Ia diciptakan dengan karakter suka
memerintahkan pada keburukan, cenderung pada kejahatan, dan lari dari kebaikan.
Manusia diperintahkan agar mensucikan, meluruskan dan menuntunnya dengan rantai
paksaan untuk beribadah kepada Tuhan, dan mencegahnya dari berbagai syahwatnya
dan menyapihnya dari berbagai kelezatannya. Jika mengabaikannya maka ia pasti
merajalela dan liar sehingga manusia tidak dapat mengendalikannya setelah itu.
Jika manusia senantiasa mencela dan menegurnya kadang-kadang ia tunduk dan
menjadi nafsulawwamah (yang amat menyesali dirinya) yang
dipergunakan oleh Allah untuk bersumpah, dan manusia tidak berharap menjadi
nafsu muthma’innah (yang tenang) yang mengajak untuk
masuk ke dalam rombongan hamba-hamba Allah yang ridha dan diridhai. Maka
hendaklah manusia tidak lupa sekalipun sesaat untuk mengingatkannya, dan
hendaknya seorang hamba sibuk menasehati orang lain jika ia tidak sibuk
terlebih dahulu menasehati dirinya sendiri.
Allah berfirman: “Dan tetaplah memberi peringatan,
karena sesungguhnya peringatan itu bermanfaat bagi orang-orang yang beriman”
(QS. Adz Dzariyat ayat 55). Jalan yang harus manusia tempuh adalah
berkonsentrasi mengahadapinya lalu menyadarkan akan kebodohan dan kedunguannya,
janganlah manusia terpedaya oleh kelicikan dan “petunjuknya”. Firman Allah yang
berbunyi: “Telah dekat kepada manusia hari menghisab segala amalan mereka,
sedang mereka berada dalam kelalaian lagi berpaling (daripadanya). Tidak datang
kepada mereka suatu ayat Al Quran pun yang baru (diturunkan) dari Tuhan mereka,
melainkan mereka mendengarnya, sedang mereka bermain-main (lagi) hati mereka
dalam keadaan lalai” (QS. Al- Anbiya’ ayat 1-3).
Demikian cara orang-orang ahli ibadah dalam bermunajat
kepada Sang Penolong mereka yaitu Allah SWT. Tujuan munajat mereka
adalah mencari ridha-Nya dan maksud celaan mereka adalah memperingatkan dan
meminta perhatian. Siapa yang mengabaikan mu’atabah (celaan terhadap
diri) dan munajat berarti ia tidak menjaga jiwanya, dan bisa
jadi tidak mendapatkan ridha Allah.[11]
BAB III
PENUTUP
3.1 Kesimpulan
1. Dalam hakikat pembinaan akhlak terdapat tiga
hakikat, yaitu: Tazkiyah al-Nasf, Tarbiyah Dzatiyah, dan Halaqah Tarbawiyah,
yang masing-masing di antaranya memiliki pengertian, sarana untuk
mewujudkannya, dan buah hasil realisasinya.
2. Langkah-langkah pembinaan akhlak, antara lain:
a. 1. Musyarathah
b. 2. Muraqabah
c. 3. Muhasabah
d. 4. Mu’aqabah
e. 5. Mujahadah
6. Mu’atabah.
3.1 Referensi
Al
Qur’anul Karim
Amatullah
Amstrong,1996. Khasanah Istilah Sufi( Kunci memasuki dunioa tasawuf)Bandung:
Miuzan
Khoiri, Alwin dkk. 2005. Akhlak
Tasawuf. Yogyakarta: Pokja Akademik UIN Sunan Kalijaga
Said
Hawa, Al2004. -Mustakhlas fi Tazkiyah al- Anfus, Cetakan ke 8 ,
Terj.Annur Rafiq Shaleh Tahmid, Jakarta: Rabani Press
Salma al-Itsari. http://dear.to/abusalma
Syaikh Yusuf Muhammad al-Hasan. Pendidikan
Anak Dalam Islam. E-book. Maktabah Abu
zainalabidindalimunthe.blogspot.com/2010/11/pembinaan
akhlak.html
[4] Said Hawa, Al-Mustakhlas
fi Tazkiyah al- Anfus, Cetakan ke 8 , Terj.Annur Rafiq Shaleh Tahmid, Jakarta:
Rabani Press, 2004
[6] Amatullah Amstrong, Khasanah
Istilah Sufi( Kunci memasuki dunioa tasawuf) Bandung: Miuzan, 1996, hal 197
Tidak ada komentar:
Posting Komentar